KEMI: CINTA KEBEBASAN YANG TERSESAT (Novel Perdana Dr. Adian Husaini)

(Gambar Cover Novel)

Komentar Taufiq Ismail, sastrawan:
Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalism.

Bisa dikatakan, ini bukan Novel biasa! Novel ini sarat dengan pergulatan pemikiran tingkat tinggi dan pergulatan jiwa dan pikiran para aktivis liberal.
“Novel Kemi” berkisah tentang dua orang santri cerdas yang berpisah jalan. Kemi (Ahmad Sukaimi), santri pertama, terjebak dalam paham liberalisme. Ia mengkhianati amanah Sang Kyai. Kemi salah pilih teman dan paham keagamaan. Ujungnya, ia terjerat sindikat kriminal pembobol dana-dana asing untuk proyek liberalisasi di Indonesia. Nasibnya berujung tragis. Ia harus dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Bogor.
Rahmat, santri kedua, selain cerdas dan tampan, juga tangguh dalam “menjinakkan” pikiran-pikiran liberal. Rahmat disiapkan khusus oleh Kyai Aminudin Rois untuk membawa kembali Kemi ke pesantren.

Meskipun misi utamanya gagal, Rahmat berhasil “mengobrak-abrik” jaringan liberal yang membelit Kemi. Sejumlah aktivis dan tokoh liberal berhasil ditaklukkan dalam diskusi.

Prof. Malikan, rektor Institut Studi Lintas Agama, tempat Rahmat dan Kemi kuliah, ditaklukkan Rahmat di ruang kelas. Siti, seorang aktivis kesetaraan gender, putri kyai terkenal di Banten, terpesona oleh kesalehan, kecerdasan, dan ketampanan Rahmat. Siti sadar dan bertobat, kembali ke orang tua dan pesantrennya, setelah bertahun-tahun bergelimang dengan pikiran dan aktivitas liberal. Rahmat juga berhasil menyadarkan Kyai Dulpikir, seorang Kyai liberal terkenal di Jawa Barat. Sang Kyai bertobat dan wafat di ruang seminar.

Baca lebih lanjut

Tidak Pada Tempatnya Melecehkan Syiar Agama

Silahkan menolak fatwa, namun jika sudah melecehkan wibawa ulama, jelas itu melecehkan syiar Islam, ujar pakar syariah.

 Robin Max Marder/Illustration Works/CorbisHidayatullah.com — Ungkapan mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta yang dikutip media massa menyangkut fatwa rebonding terus mendapatkan tanggapan.

Pakar hukum syariah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr Muinudinillah, MA mengatakan, kritikan putri proklamator itu tidak tepat dan bukan pada tempatnya. Menurut Muin, tugas ulama adalah memberikan penjelasan atau fatwa tentang hal-hal yang berurusan dengan ummat. Baik diminta atau tidak. Jika masyarakat umum, termasuk dirinya (Meutia Hatta, red) tidak tahu kapasitas dan tugas ulama, sebaiknya diminta menjaga diri. “Janganlah berbicara tanpa ilmu,” ujarnya kepada hidayatullah.com.

Pakar hukum Syariah lulusan Riyad ini menjelaskan, masyarakat sebaiknya mulai belajar menempatkan diri secara adil. Silahkan para ahli berkomentar sesuai ahlinya dan sesuai posisi masing-masing. Jika keluar dari koridor itu, bisa dianggap tak tahu diri.

“Seharusnya orang harus memahami posisi satu sama lainnya. Ulama ya bicara tentang hukum, syariat Allah, karena dia yang menjadi rujukan ilmu dalam hal ini,” kata Muin, dalam perbincangan dengan Hidayatullah.com, Rabu (20/01).

Baca lebih lanjut

Menag: Pesantren adalah Benteng Umat Islam

Menteri Agama Suryadharma Ali

SERANG–Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa sistem pendidikan di pondok pesantren adalah sistem pendidikan yang sangat bagus. ”Ponpes adalah bentengnya umat Islam. Pondok pesantren adalah bentengnya ajaran Islam,” tegas Menag dalam sambutannya pada Milad ke-42 Pondok Pesantren Daar El Qolam, Serang, Rabu (20/1).

Menag berharap bahwa alumni-alumni pesantren yang nantinya bisa menjadi pemimpin. ”Tampil sebagai pemimpin untuk membina ahlak dan ketaqwaan umat serta mencegah segala bentuk kemungkaran,” papar Menag.

Dikatakan Menag bahwa tantangan umat Islam ke depan semakin berat. ”Karena sekarang muncul idealisme kebebasan, idealisme berdasarkan hak-hak asasi. Namun berupa demokrasi yang kelewat batas,” kata Menag. Ia mencontohkan adanya sekelompok orang, LSM dan pribadi yang menggugat ke MA untuk kebebasan beragama dan mengamalkan agamanya yang berupa agama baru,” tutur Menag.

Ditegaskan Menag, mengantisipasi hal-hal semacam itu merupakan salah satu tugas para santri dan alumni pesantren.

Sumber: Republika Online

Modus Fulus Menaklukkan Pesantren

Dengan fulus, Barat terus melancarkan modusnya untuk menjinakkan pesantren di Indonesia. Melalui lembaga donor asing, kucuran dana terus digelontorkan. Depag pun menjadi makelarnya. Targetnya, mengubah kurikulum pendidikan Islam seluruh pesantren.

Dana asing terus digelontorkan ke 500 pesantren dan madrasah. Satu-satunya pondok pesantren di Jawa Timur yang menolak bantuan asing (Australia) itu adalah Pondok Pesantren (PP) Nurus Sholihah, Desa Sroyo Kanor, Bojonegoro, Jawa Timur,  pimpinan Siti Kholishoh binti KH Rifa’i.

Saat dikonfirmasi Sabili via telepon, Imron, salah seorang pengasuh PP mengatakan, awalnya ada pihak yang menawari PP untuk ikut program Madrasah Tsanawiyah Pesantren Satu Atap (MTs PSA) yang didanai Australia. ”Pihak PP menolak, karena hati-hati. Tapi, pihak yang menawari itu tetap memakai PP kami untuk mencairkan dananya,” ujar Imron.

Bantuan asing, kata Imron, diragukan kepentingan, misi dan visinya. Dengan dasar itulah PP menolak tanpa syarat. Tetapi tanpa persetujuan PP, yayasan mengajukan dana bantuan, kemudian minta segera dicairkan. Seperti diketahui, dana yang diperuntukkan bagi seluruh pesantren mencapai Rp 1,149 miliar. ”Bantuan itu, jangan membutakan mereka yang berkepentingan tanpa melihat dampak agama dan akidah, apalagi tergadaikan oleh oknum-oknum Depag dan kroninya. Yang jelas, sudah dua kali, pihak yayasan didatangi utusan Depag dari Jakarta,” tuturnya.

Baca lebih lanjut

Bentengi Pesantren dari Bahaya Sepilis! (2)

BKsPPI Tolak Buku Liberal.Inilah tragedi keilmuan di lembaga pendidikan Islam, khususnya di pesantren.Oleh: Adhes Satria

Jakarta- Menurut Adian Husaini saat menyampaikan makalahnya yang berjudul “Bahaya Liberalisasi Pendidikan Islam”, banyak yang tidak menyadari, bahwa sejak beberapa puluh tahun lalu, telah dilakukan proses liberalisasi pendidikan Islam secara sistematis melalui sistem perubahan metode studi Islam di Perguruan Tinggi di Pondok Pesantren.

Salah satu caranya, adalah mengirim dosen dan guru agama secara besar-besaran untuk belajar Islam di pusat-pusat studi Islam di Barat.

Hasilnya, kini para alumni, telah berhasil menancapkan kukunya di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia, termasuk pesantren sebagai targetnya. Pada Januari 2008 lalu, para alumni Studi Islam McGill University menerbitkan sebuah buku berjudul ‘Paradigma Baru Pendidikan Islam’.

Disamping merupakan rekaman implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007. Buku ini melaporkan keberhasilan proyek westernisasi studi Islam di Perguruan Tinggi

“Secara sistematis, metode studi Islam telah diubah mengikuti sistem dan paradigma Barat, dengan dalih menerapkan metode ‘objektif ilmiah’. Hasilnya, tidak sedikit yang belajar Islam, kemudian menjadi bingung dan ragu-ragu terhadap Islam. Bahkan banyak sarjana muslim secara terang-terangan menghujat Islam,” kata Adian.

Baca lebih lanjut

Bentengi Pesantren dari Bahaya Sepilis! (1)

Waspadai LSM berkedok Islam.

Ada LSM lokal dengan dana asing yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama dan kesetaraan gender di pondok-pondok pesantren

Oleh: Adhes Satria

resize001Jakarta- Bahaya tengah mengancam pesantren dan perguruan tinggi Islam. Bak virus mematikan, Sekularisme, Pluralisme dan Liberalismei menyusup ke dalam tubuh pesantren dengan dalih pencerahan dan peningkatan wawasan keagamaan, budaya dan social di kalangan pesantren.

Waspadai LSM-LSM berkedok Islam yang selama ini aktif menyebarkan buku-buku berpaham Pluralisme Agama dan kesetaraan gender. Mereka disokong dana puluhan milyar rupiah dari lembaga-lembaga asing (Ford Foundation & The Asia Foundation), untuk membuat acara-acara dan program “pembinaan” Pondok Pesantren.

Sebut saja ICIP (International Center for Islam and Pluralism), sebuah LSM yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama dan kesetaraan gender di pondok-pondok pesantren.

Majalah terbitan ICIP “Al-Wasathiyyah” adalah bentuk penyebaran kaum Jaringan Iblis Laknatullah (JIL) melalui doktrin Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme). Media tersebut memang disebarkan ke beberapa kalangan pesantren.

Baca lebih lanjut

Kritik Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab

Oleh: Adian Husaini

Belum lama ini saya menerima kiriman berupa sebuah buku terbitan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Judulnya cukup panjang: ”Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)” Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI, Pondok Pesantren Sidogiri, yang dipimpin seorang anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.

Membaca buku ini halaman demi halaman, muncul rasa syukur yang sangat mendalam. Bahwa, dari sebuah pesantren yang berlokasi di pelosok Jawa Timur, terlahir sebuah buku ilmiah yang bermutu tinggi, yang kualitas ilmiahnya mampu menandingi buku karya Prof. Dr. Quraish Shihab yang dikritik oleh buku ini. Buku dari Pesantren Sidogiri ini terbilang cukup cepat terbitnya. Cetakan pertamanya keluar pada September 2007. Padahal, cetakan pertama buku Quraish Shihab terbit pada Maret 2007. Mengingat banyaknya rujukan primer yang dikutip dalam buku ini, kita patut mengacungi jempol untuk para penulis dari Pesantren tersebut.Salah satu kesimpulan Quraish Shihab dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. ”Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan II, hal. 265).

Berbeda dengan Quraish Shihab, pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri, dikutip sambutan KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang menegaskan: ”Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”

Baca lebih lanjut