Tafsir Surah An-Naas

(Disarikan dari penjelasan Ustadz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., M.A.)

Surah An-Naas (Para Manusia), surah ke-114 dalam Al Qur-an, merupakan surah Makkiyah (Allah menurunkannya di Makkah). Salah satu ciri surah Makkiyah adalah pendek-pendek dan banyak berkaitan dengan prinsip aqidah. Di antara fadhilah membaca surah An-Naas, bersama surah Al-Ikhlas dan surah Al-Falaq, yaitu terjaga oleh Allah dari godaan syaitan. Seperti halnya fadhilah membaca surah Al-Baqoroh. Berikut akan kita kupas satu-persatu ayat-ayat dari Surah An-Naas.

Ayat 1

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ ِالنَّاسِ “Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia.'”

قُلْ adalah sebuah kata perintah untuk satu orang, yang artinya “katakanlah”. Secara redaksional, kata perintah tersebut Allah tujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, tujuannya adalah sebagai ikhbar/berita. Bukan berarti hanya Rasulullah SAW saja yang Allah perintahkan untuk menyatakan permintaan perlindungan kepada Rabb manusia, karena seruan itu untuk seluruh manusia. Pernyataan أَعُوْذُ (aku berlindung) mengandung dua makna:

  • menunjukkan kelemahan pihak yang meminta perlindungan
  • menunjukkan kuatnya pihak yang dimintai perlindungan.

Agar permintaan perlindungan kita diterima oleh Allah, maka jadilah orang yang layak untuk dilindungi. Bagaimanakah caranya? Baca lebih lanjut

Download Kitab Tafsir Jalalain

Kitab Tafsir Jalalain merupakan karangan Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi; itulah mengapa ia dinamakan Jalalain, yang artinya “dua Jalal“.

Bagi Anda yang menghendaki kitab tersebut dalam bentuk file/softcopy, Anda dapat dengan mudah mencarinya di Internet. Kitab aslinya (berbahasa Arab) dapat diunduh di sini: Baca lebih lanjut

Kerusuhan: Yuk Evakuasi Al-Azhar ke Indonesia

Oleh: Ahmad Sarwat, Lc.

Kalau tidak ada kepastian kapan situasi akan membaik dan kapan perkuliahan bisa dimulai lagi, lantas bagaimana dengan nasib 5000-an mahasiswa kita di Al-Azhar Mesir? Apakah mereka harus DO begitu saja dan putus kuliah?

Memang SBY menjanjikan bahwa bila nanti situasi sudah aman, para mahasiswa kita akan difasilitasi negara untuk bisa meneruskan kuliah kembali. Tetapi siapakah yang bisa memegang janji seorang SBY?

Maka tidak salah kalau saat ini kita sudah harus berpikir lebih jauh, yaitu mengapa kita tidak mendirikan saja Al-Azhar di Indonesia, sebagaimana Universitas Al-Imam Muhammad Ibnu Suus Al-Islamiyah yang buka cabang di Jakarta, menjadi LIPIA.

Sehingga akan memudahkan proses belajar mengajar. Para mahasiswa kita tidak perlu terbang jauh-jauh sampai ke Mesir, cukup para dosen dari Al-Azhar saja yang kita `transfer` ke negeri kita.

Kalau pelatih dan pemain bola saja bisa kita beli dari luar negeri, masak sih kita tidak bisa membiayai para ulama, profesor atau doktor dalam ilmu-ilmu keislaman?

Baca lebih lanjut

Mencari Tafsir Versi Indonesia?

Acara Muktamar Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang berlangsung 11-13 Februari 2008 akhirnya diganti namanya menjadi ”Kolokium Nasional Pemikiran Islam”. Sejumlah pembicara tidak bisa hadir. Salah satu pemakalah baru yang dimasukkan namanya adalah Dr. Phil. Nur Kholish Setiawan, dosen mata kuliah Kajian Al-Quran dan Pemikiran Hukum Islam di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Murid kesayangan Nasr Hamid Abu Zayd ini menggantikan posisi Prof. Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya, dalam sesi pembahasan ”Manhaj Baru Muhammadiyah: Mengembangkan Metode Tafsir”. Pada sesi ini tampil juga pembicara Ust. Muammal Hamidy, Lc. dan Dr. Saad Ibrahim.

Muammal Hamidy yang juga pimpinan Ma’had Aly Persis Bangil, dalam makalahnya, mengungkap peringatan Rasulullah saw, bahwa ”Siapa yang menafsiri Al-Quran dengan ra’yunya, maka siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.” Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur ini pun menyitir hadits lain: ”Akan datang suatu masa menimpa umatku, yaitu banyak orang yang ahli baca Al-Quran tetapi sedikit sekali yang memahami hukum, dicabutnya ilmu dan banyak kekacauan. Menyusul akan datang suatu masa, ada sejumlah orang yang membaca Al-Quran tetapi Al-Quran itu tidak melampaui tenggorokannya. Kemudian menyusul satu masa ada orang musyrik membantah orang mukmin tentang Allah (untuk mempertahankan kesyirikannya) dengan bahasa yang sama (HR Thabrani).
Ustadz Muammal Hamidy kemudian menyimpulkan: (1) Al-Quran jangan ditafsiri sesuai selera, (2) Pemahaman terhadap Al-Quran hendaknya didasari dengan ilmu, (3) Ilmu untuk memahami hukum-hukum Al-Quran harus dikuasai dengan baik, (4) Membaca Al-Quran minimal hendaknya disertai dengan pengertiannya, dan (5) Ummat Islam harus mewaspadai orang-orang yang mempergunakan dalil Al-Quran dan Sunnah untuk kepentingan yang tidak Islami.

Peringatan tokoh senior di Muhammadiyah Jawa Timur ini kiranya perlu kita perhatikan. Sebab, umat Islam di Indonesia saat ini banyak dijejali dengan beragam model penafsiran yang ditawarkan oleh sebagian kalangan cendekiawan yang isinya justru mengacak-acak Al-Quran, seperti penafsiran yang menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Beberapa waktu lalu, kita membahas disertasi doktor Tafsir Al-Quran dari UIN Jakarta yang secara terang-terangan merombak dasar-dasar keimanan Islam dan menafsirkan Al-Quran sesuai seleranya sendiri.

Baca lebih lanjut

Tragedi Keilmuan di UIN Jakarta

Oleh: Adian Husaini

Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008 lalu memuat sebuah berita yang sebenarnya terlalu penting untuk dilewatkan. Judulnya: ”Jembatan Ayat Keras dan Lunak.” Berita itu menceritakan seputar kontroversi isi disertasi Abd. Moqsith, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan disertasi yang diuji pada 13 Desember 2007 itu, maka Abd Moqsith – yang suka menambah namanya menjadi Abd Moqsith Ghazali – dinyatakan oleh UIN Jakarta telah berhak menyandang gelar Doktor dalam bidang Ilmu Tafsir Al-Quran.

Disertasi Abd Moqsith yang berjudul, ”Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama” dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.

Melihat tema yang dibahas dalam disertasi Abd. Moqsith tersebut, harusnya para ahli tafsir di Indonesia tertarik untuk menyimaknya. Apalagi kasus ini sudah terangkat di media massa. Namun, faktanya, respon terhadap disertasi itu sepertinya dingin-dingin saja. Padahal, ini menyangkut masalah Al-Quran, kalam Allah, dan penafsirannya.

Baca lebih lanjut