Pluralisme Agama Masuk Desa

Saya fikir bahwa paham Pluralisme Agama adalah wacana yang terjadi di tataran akademik saja. Tapi, rupanya sudah masuk ke desa-desa


Oleh: Arif Munandar Riswanto*

Pada awal bulan Oktober 2010, saya diundang mengikuti acara halal bi halal Idul Fitri 1431 Hijriah di kawasan Bandung Timur. Sesuai dengan namanya, acara yang diadakan oleh Rukun Warga (RW) tersebut berisi silaturahmi warga sekitar.

Maklum, hampir seluruh warga di kampung tersebut adalah orang-orang perantauan. Jadi, ketika lebaran, mayoritas warga mudik ke kampung halamannya. Dengan demikian, maka otomatis, lebaran akan dilalui tanpa salaman. Karena, seperti yang telah menjadi tradisi kita, lebaran akan terasa kurang afdhal jika tidak bersalaman.

Agar tidak sekadar salaman saja, acara halal bi halal tersebut diisi dengan ceramah. Tampil yang memberikan ceramah adalah seorang sarjana jebolan Universitas Islam terkenal di Bandung. Agar matching dengan situasi dan kondisi, tema ceramah yang diangkat adalah seputar silaturahmi.

Saya sendiri terlambat mengikuti acara yang diadakan di halaman masjid tersebut. Beberapa menit di penghujung acara, saya baru datang. Ketika datang, saya pun langsung mendengarkan ceramah. Ceramah yang diberikan sangat cair. Sesekali diselingi humor ringan. Layaknya ceramah yang biasa diberikan kepada masyarakat awam.

Ketika baru datang, saya langsung mendengarkan penjelasan tentang silaturahmi. Pemateri kemudian menjelaskan akar kata silaturahmi yang berasal dari bahasa Arab. Namun, ketika sedang menjelaskan silaturahmi, saya kemudian sangat terkejut. Pemateri tersebut menjelaskan bahwa setiap Muslim yang tidak pernah ibadah ke masjid, orang Kristen yang tidak pernah pergi ke Gereja, dan orang Hindu yang tidak pernah datang ke Pura, hidupnya akan hampa. Karena, ia tidak pernah berhubungan (silaturahmi) dengan Tuhan. Dan, kehidupan orang seperti itu pasti akan menderita.

Saya sangat terkejut, karena isi ceramah yang disampaikan jelas-jelas menyamakan seluruh agama. Menurutnya, setiap pemeluk agama, baik Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain, yang datang ke tempat ibadah masing-masih adalah orang-orang yang sedang “bersilaturahmi” dengan Tuhan. Tanpa melihat konsep Tuhan dan ibadah dari setiap agama.

Rasa terkejut saya semakin besar ketika materi seperti itu harus disampaikan kepada masyarakat awam. Di mana masyarakat yang tidak mengerti ajaran Islam begitu dalam.

Baca lebih lanjut

KEMI: CINTA KEBEBASAN YANG TERSESAT (Novel Perdana Dr. Adian Husaini)

(Gambar Cover Novel)

Komentar Taufiq Ismail, sastrawan:
Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalism.

Bisa dikatakan, ini bukan Novel biasa! Novel ini sarat dengan pergulatan pemikiran tingkat tinggi dan pergulatan jiwa dan pikiran para aktivis liberal.
“Novel Kemi” berkisah tentang dua orang santri cerdas yang berpisah jalan. Kemi (Ahmad Sukaimi), santri pertama, terjebak dalam paham liberalisme. Ia mengkhianati amanah Sang Kyai. Kemi salah pilih teman dan paham keagamaan. Ujungnya, ia terjerat sindikat kriminal pembobol dana-dana asing untuk proyek liberalisasi di Indonesia. Nasibnya berujung tragis. Ia harus dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Bogor.
Rahmat, santri kedua, selain cerdas dan tampan, juga tangguh dalam “menjinakkan” pikiran-pikiran liberal. Rahmat disiapkan khusus oleh Kyai Aminudin Rois untuk membawa kembali Kemi ke pesantren.

Meskipun misi utamanya gagal, Rahmat berhasil “mengobrak-abrik” jaringan liberal yang membelit Kemi. Sejumlah aktivis dan tokoh liberal berhasil ditaklukkan dalam diskusi.

Prof. Malikan, rektor Institut Studi Lintas Agama, tempat Rahmat dan Kemi kuliah, ditaklukkan Rahmat di ruang kelas. Siti, seorang aktivis kesetaraan gender, putri kyai terkenal di Banten, terpesona oleh kesalehan, kecerdasan, dan ketampanan Rahmat. Siti sadar dan bertobat, kembali ke orang tua dan pesantrennya, setelah bertahun-tahun bergelimang dengan pikiran dan aktivitas liberal. Rahmat juga berhasil menyadarkan Kyai Dulpikir, seorang Kyai liberal terkenal di Jawa Barat. Sang Kyai bertobat dan wafat di ruang seminar.

Baca lebih lanjut