Akmal Sjafril: JIL Membidik Masyarakat Awam

Islamedia – Sejak awal didirikannya (sekitar Maret 2001), Jaringan Islam Liberal sudah menuai protes umat dan ulama. Tulisan dedengkot JIL, Ulil Abshar Abdala, yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” dimuat di Kompas pada 18 September 2002, dinilai sebagai suatu pelecehan kepada syariat Islam. Artikel itu telah menghadirkan kecaman luar biasa datang dari ulama. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, sempat terdengar adanya fatwa hukuman mati kepada Ulil.

Pemikiran Islam liberal ini menghadirkan polemik tak berkesudahan. Hingga akhirnya pada Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Keputusan Fatwa dengan nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005, tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Dalam fatwa itu MUI menyatakan umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.

Di tanah air, lahir gerakan-gerakan untuk menangkis serangan pemikirian islam Liberal. Sebut saja salah satunya adalah INSISTS yang rutin menggelar kajian setiap pekan. Dari INSISTS ini, hadir seorang anak muda yang turut memberi kontribusi terhadap penangkalan pemikiran sesat Islam Liberal. Dialah Akmal Sjafril yang baru-baru ini menulis sebuah buku berjudul “Islam Liberal 101.” Buku ini mendapat sambutan hangat di masyarakat. Setelah buku ini terbit, Akmal Sjafril sering diundang untuk mengisi kajian tentang Islam Liberal di berbagai tempat.

Islamedia mendapat kesempatan mewawancarai sosok potensial yang bisa sejajar dengan Adian Husaini kelak. Berikut ini wawancaranya.

Buku anda cukup diterima di masyarakat. Apa yang melatar belakangi anda membuat buku Jaringan Islam Liberal 101?

Alhamdulillaah, sejauh ini belum ada yang mengaku berat membaca buku Islam Liberal 101. Pembacanya bukan hanya aktivis dakwah, tapi juga mahasiswa, pelajar, pegawai kantoran, ibu rumah tangga, bahkan anak band. Memang buku ini saya dedikasikan untuk saudara-saudara kita yang masih awam dengan wacana pemikiran Islam liberal, namun memiliki ghirah yang kuat. Di dunia maya, para pengusung Islam liberal bisa dengan bebas merajalela. Tapi justru kebebasan itulah yang membuat mereka kebablasan. Karena mereka bicara semaunya saja, akhirnya banyak yang dengan mudah dapat melihat kesesatan pemikiran mereka. Di Twitter, misalnya, telah muncul gelombang penolakan besar-besaran terhadap para aktivis Islam liberal. Memang seorang Muslim yang jujur pasti bisa mendeteksi penyimpangan Islam liberal, hanya saja tidak semua orang bisa menjawab retorika-retorika mereka, dan lebih sedikit lagi yang bisa meresponnya secara elegan. Baca lebih lanjut

Renungan

[Forward dari mailing list]

Orang bijak berkata:

Saudaraku,
Jika Allah memberikan cobaan yang banyak,
berarti Dia menghendakimu menjadi mukmin sejati.

Jika Dia memberikan masalah-masalah yang berat,
berarti dia menghendakimu menjadi pribadi yang kuat.

Jika Dia memberikanmu tantangan-tantangan yang besar,
berarti dia menghendakimu menjadi orang yang pintar.

Coba kita bayangkan..

Penerbangan terakhir kita bukan dengan pesawat Airline,
tapi Keranda yang ditandu 4 manusia yang menjadi roda.

Bekal kita bukan Uang dan Harta,
tapi Amal dan Ibadah.

Baju yang kita pakai bukan merk Giorgio Armani,
tapi Kain Kafan.

Yang melayani kita bukan pramugari yang cantik,
tapi Malaikat Munkar dan Nakir.

Baca lebih lanjut

Prof. Azyumardi: Pendidikan Islam di IAIN adalah “Islam Liberal”

Rektor UIN Prof Dr Azhar Arsyad MA menerima kunjung an tim CIDASelasa, 25 Januari 2011

Oleh: Dr. Adian Husaini

“Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”

“Jika di pesantren mereka memahami dikotomi ilmu: Ilmu Islam (naqliyah dan ilmu keagamaan) dan ilmu umum (sekuler dan duniawiah), maka di IAIN merekadisadarkan bahwa hal itu tidak ada. Di IAIN mereka bisa memahami bahwa belajar sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, sama pentingnya dengan belajar ilmu Tafsir al-Quran. Bahkan ilmu itu bisa berguna untuk memperkaya pemahaman mereka tentang tafsir. Tetapi, IAIN tidak mengajarkan apa yang sering disebut dengan “islamisasi ilmu pengetahuan” sebab semua ilmu yang ada di dunia ini itu sama status dan arti pentingnya bagi kehidupan manusia.”

Itulah pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra saat menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Pernyataan itu dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama.

Pengakuan Profesor Azyumardi Azra tentang corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN itu tentu saja menarik untuk kita simak, sebab disampaikan bukan dengan nada penyesalan, tetapi justru dengan nada kebanggaan. IAIN merasa bangga, sebab sudah berhasil mengubah banyak mahasiswanya yang kebanyakan berbasis pesantren/madrasah menjadi mahasiswa atau sarjana-sarjana liberal.

Baca lebih lanjut

Umat Islam Tidak Toleran?

Dalam soal toleransi beragama, antara opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-299

Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA 1 Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang.

Dr. Marwa hadir di sing pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman bernama Alex W yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena tembakan petugas.

Mungkin karena korbannya Muslim, dan pelakunya warga asli non-Muslim, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional, apalagi internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual!

Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita Kristen http://www.reformata.com, pada 20 September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing”.

Baca lebih lanjut