Syafi’i Antonio: Meneladani Rosul, Kunci Sukses Keluar Krisis

Krisis multidemensi di Indonesia ini diakibat adanya kris keteladanan. Demikian ujar pengamat ekonomi Syariah, Dr. Syafii Antonioantonio_166_187

Hidayatullah.com– Umat Islam masih banyak yang mengkerangkeng Islam di masjid. Menjadikannya sebagai ritual keagamaan semata. Maulid Nabi, barzanji, tahililan, serta ritual lainnya diadakan secara besar-besaran dan masif. Sedangkan nilai universalitas Islam tidak pernah dibawa ke ranah luar, seperti perbankan, asuransi, ekonomi, politik, manajenem, dan lainnya. Padahal, jika mencinta nabi dan ingin menjalankan Islam tidak sebatas ritual semata. Jika ini tidak dilakukan, berarti kita mendhalimi Nabi. Karena tidak menjadikannya sebagai suri tauladan dalam setiap peran dan perbuatan.

Hal itu disampaikan Dr. H. M. Syafi’i Antonio dalam Kajian Aktual al-Falah (Kaafah) di WTC Lt 3 pada (29/3) kemarin. Kajian yang bertema “Meneladani Setiap Peran Dalam Perjuangan Dakwah” itu dihadiri lebih seribu donatur dan simpatisan Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF).

Pria yang juga salah satu penulis terbaik Islamic Book Fair 2009 lewat bukunya, “Rosulullah SAW, Super Leader Super Manager”, ini mengatakan bahwa krisis multidemensi yang terjadi di Indonesia diakibatkan tidak adanya keteladanan (public figure) yang bisa diteladani umat. Syafii Antonio mengatakan, tidak adanya pemimpin yang memiliki integritas dan sifat amanah membuat bangsa ini chaos.

“Dilanda korupsi, krisis ekonomi dan krisis moral,” ujar Antonio. Hal itu juga, menurut pakar ekonomi syariah ini, demoralisasi pemimpin tersebut telah muncul sejak awal kampaye. Besarnya ongkos Pemilu yang dikeluarkan para caleg membuat mereka berfikir bagaimana cara mengembalikan modal tersebut.

“Jadi, setelah mereka terpilih menjadi wakil rakyat, bukan berfikir tentang kesehateraan rakyat, malah bagaimana mendapatkan uang,” terangnya.

Baca lebih lanjut

Awas Penyebaran Diktat Bodong (2)

Setelah membeberkan ringkasan isi dari diktat berjudul Menelusuri Jejak–Jejak Komunis dalam Pergerakan Islam, pada tulisan kedua ini akan dijelaskan beberapa alasan kenapa diktat ini disebut ”bodong”.

Pertama, diktat ini sangat jauh dari nilai-nilai Islam, terlebih jika dinisbatkan pada tokoh nasional berpredikat “kiai haji”. Orang yang berpredikat seperti ini, tak mungkin menuduh ibadah haji sebagai bukti bahwa Islam diperalat oleh ulama dan penjajah negara-negara Arab (hlm 136).

Bahkan, penulis diktat ini menuduh ibadah haji sebagai cara memutihkan uang hasil korupsi, sehingga peningkatan jumlah jamaah haji seiring dengan peningkatan kasus korupsi di negeri ini (hlm 51).

Tuduhan ini salah besar. Ibadah haji bukan keharusan mutlak yang wajib dikerjakan dengan menghalalkan segala cara, karena haji hanya diwajibkan bagi umat Islam yang mampu saja (QS Ali Imran: 97).

Ibadah haji juga bukan pemutihan uang korupsi, karena al-Qur’an melarang keras segala bentuk pencurian –termasuk korupsi– dengan hukuman potong tangan (QS al-Ma’idah: 38). Allah melarang perbuatan curang (QS al-Muthaffifin: 1)

Salah satunya, korupsi.

Baca lebih lanjut

Awas Penyebaran Diktat Bodong (1)

Beberapa pekan terakhir di bulan Maret 2009 ini, Tim Fakta menerima laporan bahwa telah beredar diktat berjudul Menelusuri Jejak–Jejak Komunis dalam Pergerakan Islam. Diktat berjilid spiral ini berisi kliping berita, artikel media cetak serta komentar penyusun pada tiap kliping yang umumnya menyudutkan Islam.

Rupanya, sang penyusun–yang mengaburkan identitasnya–ini mengirimkan diktat karyanya pada tokoh-tokoh penting di negeri ini. Di antaranya, Menteri Agama, Menkopolkam, Kapolri, Kejaksaan Agung, para Gubernur, Bupati/Walikota, Ketua DPRD se-Indonesia, pengurus MUI, Ketua FPI, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia, Ketua Hizbut Tahrir Indonesia, BEM UI, BEM UGM, media cetak, televisi dan lainnya.

Kliping berita dan artikel dalam diktat ini berisi beberapa hal.

Pertama, berita kriminal yang dilakukan oknum beragama Islam.

Kedua, wawancara Nasr Abu Zayd, tokoh liberalis Muslim terkemuka (hlm 107).

Ketiga, cuplikan berita dari Tabloid Katolik Sabda tentang musibah yang menimpa Pastor Romo Antonius Beni Susetyo, Sekretaris Eksekutif KWI (hlm 155).

Keempat, artikel Frans Magnis Suseno SJ yang mengkritik UU Pornografi sebagai ”ancaman tersembunyi” (hlm 62), dan lainnya.

Berikut ringkasan keseluruhan isi dari diktat ini:

Baca lebih lanjut

Napoleon Bonaparte Seorang Muslim

408px-1801_antoine-jean_gros_-_bonaparte_on_the_bridge_at_arcole_204_300Kita sudah banyak mendengar atau membaca tentang nama-nama besar yang menjadi Muslim; mulai dari Laksamana Cheng Ho dari China hingga penyanyi Cat Stevens dari Inggris, yang menjadi Yusuf Islam. Baru-baru ini kita juga mendengar Michael Jackson menjadi Muslim. Di dunia olah raga, diawali petinju Mohammad Ali, disusul Mike Tyson; dan kini para atlet sepak bola Eropah serta atlet basket AS, berduyun-duyun memeluk Islam. Biasanya mereka menjadi Islam setelah melihat contoh perilaku dan gaya hidup rekan mereka yang Muslim.

Saya baru saja membaca sebuah artikel yang menjelaskan bahwa Napoleon Bonaparte memeluk Islam. Tentu saja kisah semacam ini tidak ada di buku sejarah mainstream atau di film-film buatan Hollywood. Biasanya Napoleon digambarkan sebagai komandan perang yang gagah berani. Dia juga dikenal karena ucapannya: “Saya lebih takut pada seorang wartawan daripada seratus moncong meriam.”

Bagi Napoleon Bonaparte, jenderal yang strategi perangnya menjadi pegangan para komandan hingga saat ini, Islam memberinya jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya di masa itu. Dalam buku Satanic Verses – Ancient and Modern, karya David M. Pidcock (1992), dikisahkan proses Napoleon menjadi Islam. Buku ini mengutip suratkabar resmi Perancis pada masa itu, Le Moniteur, yang memberitakan masuknya Napoleon ke dalam Islam (1798). Dalam berita itu disebutkan pula nama Islam Napoleon, yaitu Aly (Ali) Napoleon Bonaparte. Ini dilakukan ketika Napoleon menginvasi Mesir dan tinggal di negeri itu selama beberapa waktu.

Tak berhenti di situ, Napoleon juga meng-Islam-kan salah seorang jendralnya, Jacques Menou, yang kemudian berganti nama menjadi Jendral Abdullah-Jacques Menou. Jendral Menou menikahi Sitti Zoubeida, putri Mesir yang memiliki darah keturunan Nabi Muhammad SAW.

Baca lebih lanjut

Don’t Expect Too Much On Obama!!

Obama Among Jewish People

It is obvious that Barack Hussein Obama, the current president of United States of America (USA), used a very hypnotic slogan in his presidential campaign last year (2008), which was “CHANGE: We Can Believe In“. That slogan had successfully drugged most people of USA, and even most people of the world, including Indonesia. It is understandable, as he had been expected by the world to be able to change the USA’s foreign policies, after all the mess his predecessor –George Walker Bush– had done with Iraq, Afghanistan, Guantanamo, and most of the Muslim world.

Many people in Indonesia even had more pride and hope on him becoming the president of a superpower country. In my opinion, that was because of one rather unacceptable reason, which was an improper pride of Barry (the nickname of little Obama), concerning that he had been staying and studying in Jakarta for a couple years, when he was just an elementary school kid. They might have different opinion if only they know the truth. Now I can say, don’t expect too much on Obama! Why? I’ll tell you why.

Read more..

Bentengi Pesantren dari Bahaya Sepilis! (2)

BKsPPI Tolak Buku Liberal.Inilah tragedi keilmuan di lembaga pendidikan Islam, khususnya di pesantren.Oleh: Adhes Satria

Jakarta- Menurut Adian Husaini saat menyampaikan makalahnya yang berjudul “Bahaya Liberalisasi Pendidikan Islam”, banyak yang tidak menyadari, bahwa sejak beberapa puluh tahun lalu, telah dilakukan proses liberalisasi pendidikan Islam secara sistematis melalui sistem perubahan metode studi Islam di Perguruan Tinggi di Pondok Pesantren.

Salah satu caranya, adalah mengirim dosen dan guru agama secara besar-besaran untuk belajar Islam di pusat-pusat studi Islam di Barat.

Hasilnya, kini para alumni, telah berhasil menancapkan kukunya di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia, termasuk pesantren sebagai targetnya. Pada Januari 2008 lalu, para alumni Studi Islam McGill University menerbitkan sebuah buku berjudul ‘Paradigma Baru Pendidikan Islam’.

Disamping merupakan rekaman implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007. Buku ini melaporkan keberhasilan proyek westernisasi studi Islam di Perguruan Tinggi

“Secara sistematis, metode studi Islam telah diubah mengikuti sistem dan paradigma Barat, dengan dalih menerapkan metode ‘objektif ilmiah’. Hasilnya, tidak sedikit yang belajar Islam, kemudian menjadi bingung dan ragu-ragu terhadap Islam. Bahkan banyak sarjana muslim secara terang-terangan menghujat Islam,” kata Adian.

Baca lebih lanjut

Bentengi Pesantren dari Bahaya Sepilis! (1)

Waspadai LSM berkedok Islam.

Ada LSM lokal dengan dana asing yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama dan kesetaraan gender di pondok-pondok pesantren

Oleh: Adhes Satria

resize001Jakarta- Bahaya tengah mengancam pesantren dan perguruan tinggi Islam. Bak virus mematikan, Sekularisme, Pluralisme dan Liberalismei menyusup ke dalam tubuh pesantren dengan dalih pencerahan dan peningkatan wawasan keagamaan, budaya dan social di kalangan pesantren.

Waspadai LSM-LSM berkedok Islam yang selama ini aktif menyebarkan buku-buku berpaham Pluralisme Agama dan kesetaraan gender. Mereka disokong dana puluhan milyar rupiah dari lembaga-lembaga asing (Ford Foundation & The Asia Foundation), untuk membuat acara-acara dan program “pembinaan” Pondok Pesantren.

Sebut saja ICIP (International Center for Islam and Pluralism), sebuah LSM yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama dan kesetaraan gender di pondok-pondok pesantren.

Majalah terbitan ICIP “Al-Wasathiyyah” adalah bentuk penyebaran kaum Jaringan Iblis Laknatullah (JIL) melalui doktrin Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme). Media tersebut memang disebarkan ke beberapa kalangan pesantren.

Baca lebih lanjut

Propaganda ”Lintas Agama” yang Kian Canggih

Usaha propaganda paham liberal makin canggih. Termasuk aktivitas pusat kegiatan penyebaran pahamnya di kampus UGM. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-258

Oleh: Adian Husaini

adian_th_152_192Huntington tampaknya tidak bohong dalam hal yang satu ini. Bahwa, setelah peristiwa 11 September 2001, AS sangat serius dalam ”menggarap” Islam. Dalam bukunya, Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004), Huntington menulis: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.” Jadi, menurut Huntington, perang ideologis AS dengan kaum komunis militan, kini telah digantikan dengan perang agama dan perang budaya dengan Islam militan.

Meskipun secara formal, banyak pejabat AS yang menyangkal kebenaran pendapat Huntington, tetapi fakta di lapangan menunjukkan, memang kebijakan luar negeri AS kini banyak diarahkan pada upaya ”penjinakan Islam”. Dalam sejarah kolonialisme dan orientalisme, ini memang bukan hal yang baru. Di Indonesia, upaya untuk menciptakan kelompok yang ”ter-Barat-kan” di kalangan kaum pribumi, telah dilakukan oleh penjajah Belanda. Kelompok inilah yang secara aktif membendung aspirasi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara ini, tentu ”sang Tuan” tidak perlu capek-capek lagi menghadapi umat Islam.

Kini, di era imperialisme modern, tampak program keagamaan AS semakin jauh memasuki area-area yang sangat personal dari kaum Muslim, yakni urusan pemahaman dan keyakinan agamanya. Seriusnya AS dalam pengembangan dan penyebaran Pluralisme Agama di Indonesia bisa menjadi salah satu indikator penting, bagaimana seriusnya program penggerusan keyakinan umat beragama, khususnya Islam.

Baca lebih lanjut