Kontroversi Film 2012: Antara Fakta dan Mitos (1)

Jarum jam baru menunjuk angka 11 kurang sedikit. Mega Bekasi XXI, gedung bioskop dengan tujuh ruang pertunjukan, yang berada di lantai V Mega Bekasi Hyper Mall yang terletak di depan pintu tol Bekasi Barat belum dibuka pintunya. Namun ratusan orang tua-muda sudah memadati halaman depan yang sempit. Walau ruangan memiliki fasilitas air-conditioner, namun udara tetap terasa gerah. Saking penuhnya, tidak ada tempat untuk sekadar duduk meluruskan kaki.

Pukul 11.05 wib, tiga pintu kaca serentak dibuka. Ratusan penonton berhamburan saling-berlomba antri di depan loket tiket yang juga masih tutup. Antrean mengular jauh ke belakang. Salah seorang petugas keamanan kepada eramuslim.com mengaku jika jumlah penonton film “2012” besutan sutradara Hollywood kelahiran Jerman, Rolland Emerich, memecahkan rekor jumlah penonton selama ini.

“Jumlah penonton Harry Potter dan Laskar Pelangi yang banyak itu belum ada apa-apanya dibanding antusiasme penonton sekarang yang ingin menyaksikan film 2012 itu,” ujar petugas bioskop sambil mengatur antrean yang kian panjang.

Membludaknya jumlah penonton yang ingin menyaksikan film yang biaya produksinya menelan biaya US $260 juta ini bukan hanya terjadi di Mega Bekasi XXI saja, namun nyaris terjadi di semua gedung bioskop yang memutarnya di seluruh dunia. Wajar saja jika dalam hitungan hari, laba yang diraup oleh produsernya amat banyak. Hanya dalam waktu tiga hari, film yang dibintangi aktor John Cusack ini nyaris sudah mendekati break event point, yakni meraup pendapatan sebesar US $225 juta.

Menurut hemat penulis, gegar film 2012 sebenarnya mengherankan karena film ini tidak beda jauh dengan film-film bertema sama yang lebih dahulu tayang seperti film The Day After Tomorrow (2004) dan Knowing (2009). Hanya saja patut diakui jika di film 2012, spesial efeknya memang lebih canggih ketimbang film-film lainnya. Sedangkan alur cerita dan plot bisa dibilang tidak ada yang baru.

Sebab itu, antusiasme penonton di seluruh dunia terhadap film ini sangat mungkin lebih disebabkan kontroversi tema yang menjadi fokus utama dari film yang digarap selama enam bulan di Vancouver-Kanada tersebut ketimbang isi filmnya sendiri. Apalagi ditambah dengan adanya segelintir tokoh masyarakat yang terprovokasi dengan film biasa ini dan menyerukan agar pemerintah melarang pemutarannya, seperti yang terjadi di Malang, Jawa Timur.

Baca lebih lanjut